Petualangan Analog Samsons

Album ketiga sebuah band adalah sebuah tantangan, apalagi kalau menyusul dua album yang sukses. Tapi bagi Samsons, mereka tidak mengalami hambatan kreativitas dalam pembuatan album Samsons. Salah satu penyebabnya adalah bertambahnya peran masing-masing per-sonel band pop rock asal Jakarta ini dalam menciptakan lagu, yang sebelumnya lebih banyak ditangani oleh gitaris Irfan Aulia. “Nggak mentok, karena Irfan ngasih kesempatan kepada yang lain untuk bikin lagu,” kata pemain bas Aldri Dataviadi. “Terpakai atau tidak, setidaknya sudah membuktikan punya potensi untuk itu.” Irfan menambahkan, “Kesempatan selalu ada dari album pertama, cuma porsi gue sebagai produser album ini adalah bagaimana mengoptimalkan potensi yang masih agak malu-malu. Tinggal bagaimana merumuskannya.”
Di dalam Samsons, yang dirilis pada Oktober lalu, masih terdapat perpaduan antara lagu-lagu enerjik seperti “Revolusi” dan “Sudahlah” serta balada-balada megah seperti “Masih (Mencintainya)” dan “Percuma” yang telah menjadi ciri khas Samsons selama ini. Tapi bertambahnya kontribusi masing-masing personel semakin memperkaya musik di album ini, sebagaimana dapat disimak pada “Enyah”, lagu akustik ciptaan gitaris Erik Partogi Siagian yang menjelma dalam proses pembuatannya sehingga bernuansa Latin. “Gue kasih dengar ke Bams (vokalis Bambang Reguna Bukit). ‘Bams, Erik punya lagu’,” kata Irfan. “Ternyata lagunya menempel di kepala Bams. Dia sangat maniak The Police, terutama Sting. Tanpa sengaja, dia lebih mendalami dengan gaya tersebut.”

Hal yang juga berbeda adalah teknik rekaman yang digunakan, yakni dengan menggunakan pita analog, sesuatu yang sudah jarang dilakukan di era teknologi digital. “Idenya waktu itu cuma buat drum, karena kalau rekaman analog yang paling terasa berbeda adalah drum,” kata Irfan tentang asal mula proses rekaman di studio papan atas Aquarius Musikindo tersebut. “Konde (pemain drum Chandra Christanto) sempat panas dingin, grogi.

Ternyata bisa, saking menjiwai sampai tangannya terkilir. Gue tanya Aldri, ‘Berani take pakai analog?’ ‘Kenapa nggak? Dia berani, masa gue nggak berani? Masa yang lain nggak berani?’ Jadi ketidaksengajaan akhirnya membuat album kami ini sebagai platform rekaman secara analog.”

Metode rekaman ini membawa kendala tersendiri. Selain karena biaya yang mahal, mereka harus bersusah payah mencari pita yang sudah sulit didapatkan. “Zaman sekarang siapa yang mau rekaman dengan analog? Bukannya karena nggak mau, tapi sudah susah. Cari pitanya setengah mati. Kami saja pakai pita second untuk melengkapi. Orang-orang produksi [di studio] juga baru pertama kali rekaman analog,” kata Irfan. “Tapi kenapa nggak? Once in a lifetime. Kami merekam album kedua di tiga benua, hasil belajarnya ditunjukkan di album ini.”

Keputusan untuk menempuh proses rekaman yang berbeda juga sejalan dengan keteguhan Samsons untuk tetap membuat tipe musik yang identik dengan mereka selama ini. Konsistensi dalam bermusik adalah sesuatu yang lebih diutamakan dibanding mengikuti tren demi terus mencetak lagu-lagu hit. “Kalau kami harus berubah menjadi sesuatu yang hit tapi beda dari roots kami, itu seperti membohongi diri sendiri. Itu tidak akan kami lakukan,” kata Irfan.

“Gue pernah bilang ke Bams, ‘Gue punya lagu yang rada melayu. Pasti jualan. Mau nggak?’ ‘Nggak. Mendingan gue bunuh diri,’ dia bilang begitu [tertawa]. Itu salah satu bukti kami berusaha konsisten. Kami bukan hitmaker yang bunglon.” “Kalau dengar hasil rekamannya, ternyata enak dan sesuai ekspektasi, nggak ada yang bisa menandingi. Itu nggak bisa dibayar dengan uang,” kata Erik. “Yang penting melakukan sebaik yang gue bisa, semampu yang gue bisa. Setulus mungkin,” kata Konde.

Apakah petualangan analog akan berlanjut setelah album Samsons? “Satu, belum tahu. Dua, mudah-mudahan dapat pitanya,” kata Bams. “Kami sedang bermimpi lagi untuk album keempat,” kata Irfan. “Ide-ide gila berawal dari mimpi.”

from. rolling stone megazine

Comments