EMERSON LAKE & PALMER ( ELP ) SEBUAH KISAH TANPA AKHIR

BAGAIMANA ceritanya Emerson, Lake & Palmer menjadi ELP dan mengapa bisa mereka menghamburkan uang? Cerita itu diawali oleh Keith Emerson kecil yang meniru hobi ayahnya yang menjadi pianis amatiran tanpa pernah menjalani pendidikan resmi. Begitu mengetahui Keith berbakat, sang ayah menyewa seorang guru yang bernama Nyonya Smith yang menurut Keith amat membosankan. Namun, secara perlahan-lahan, Keith menyadari bahwa les piano itu ternyata cukup bermanfaat baginya.“Saya menjadi murid yang populer di sekolah dan saya sering terhindar dari ancaman teman-teman yang jago berkelahi karena mereka senang mendengarkan permainan piano rock’n’roll saya,” ujar Emerson kepada majalah Classic Rock edisi September. Setelah tampil di panggung dalam sebuah acara makan malam klub menembak, terbukti bahwa permainan Emerson sangat kaya dengan improvisasi yang membuat dia serius mempelajari musik jazz. “Saya tidak mau mengikuti musik The Beatles, Rolling Stones, atau The Yardbirds yang kala itu sangat populer,” tutur Emerson.
Namun, lambat laun Emerson juga terpaksa mendalami musik blues setelah mendengarkan asyiknya organ Hammond yang dimainkan oleh Brother Jack McDuff. Di akhir musim panas tahun 1965, Emerson membentuk sebuah grup R&B di kota kelahirannya di Brighton, Gary Farr & The T-Bones. “Bermain dengan mereka sungguh menyenangkan. Apalagi Gary Farr yang suaranya berciri blues, berulang kali tampil bersama di panggung dengan gitaris terkenal Amerika, Sonny Boy Williamson,” kenang Emerson.

Emerson tak lama bersama Gary Farr dan pindah ke The VIPs. Ia juga segera bosan, lalu membentuk The Nice. Band ini pada awalnya cuma bertugas mengiringi vokalis bersuara emas, PP Arnold, yang merupakan anak kesayangan Mick Jagger yang langsung menggaet Arnold dan The Nice ke studio rekaman.

Ketika di The Nice, Emerson dan pemetik bas, Lee Jackson, sering berlatih dengan musik-musik jazz, klasik, sampai progresif. Dan, berhubung The Nice tidak diperkuat oleh seorang gitaris, otomatis yang menjadi tontonan di panggung setiap malam adalah Emerson sang pianis. “Saya sudah lama kesal yang menjadi bintang panggung selalu pemain gitar. Saya juga sering menyesal semestinya saya belajar gitar saja karena mudah dibawa ke mana-mana di atas panggung. Tetapi, saya mendapat inspirasi dari Don Shinn, seorang pemain kibor Hammond yang tampil di Marquee,” lanjut Emerson.

Shinn mendandani kibornya dengan berbagai benda unik seperti obeng, sengaja membuka papan-papan penutup Hammond, dan menampilkan atraksi seperti melompat atau duduk di atas kibor dengan tetap terus bermain. Pada waktu yang hampir bersamaan, Greg Lake baru saja meninggalkan kota kelahirannya, Bournemouth. Ia berasal dari keluarga miskin, dan sejak berusia 12 tahun sudah berketetapan hati untuk berkarier sebagai gitaris.

“Saya senang bermain gitar bukan hanya sebagai pilihan untuk hidup, tetapi juga karena banyak cewek yang senang. Jangan lupa, kala itu The Beatles baru mengawali karier dan semua cewek berteriak-teriak histeris. Ketika saya tampil bersama teman-teman sekolah dengan band bernama Unit Four, mobil kami selalu dikeroyok oleh cewek-cewek histeris,” kata Lake.

Setelah Unit Four, Lake pindah ke The Time Checks dan lalu ke The Shame, dua band yang rajin membawakan lagu-lagu Top 40. Setelah merasa tak bisa berkembang di Bournemouth, ia pindah ke London. Di ibu kota Inggris itu ia membentuk The Gods bersama Lee Kerslake dan Ken Hensley, dua musisi yang kelak membentuk Uriah Heep. The Gods cukup tenar sehingga dikontrak oleh studio rekaman EMI, namun keburu bubar gara-gara Lake kembali merasa tak bisa berkembang bersama Kerslake dan Hensley. Di Bournemouth, Lake sejak kecil bersahabat dengan Robert Fripp karena mereka belajar gitar kepada guru yang sama bernama Don Strike. Bukan cuma les bersama-sama, Lake dan Fripp pun beberapa kali tampil di panggung sebagai duet gitar yang unik dan menarik. Fripp juga mengadu nasib ke London dan membentuk Giles, Giles & Fripp, sebuah trio yang sempat merilis sebuah album, The Insanity of Giles, Giles & Fripp di studio Decca. Berhubung band ini kurang sukses, Decca mendesak Fripp dan Giles bersaudara untuk mencari vokalis-kalau tidak kontrak diputus. “Lalu Robert menelepon saya. Ia menanyakan apakah saya tertarik menjadi vokalis. Saya menjawab tentu saja. Tetapi, Robert bilang ’syaratnya satu, saya tidak perlu dua gitaris. Maukah kamu bermain bas?’ Begitulah ceritanya,” kata Lake. Begitulah, Lake bergabung dengan band milik Fripp. Akhirnya, band itu berubah nama menjadi King Crimson, salah satu pelopor musik rock progresif.

Sementara itu, Carl Palmer sejak kecil mempunyai hobi memukul-mukul sendok kayu. “Kakek saya profesor di perguruan tinggi musik dan ayah saya pandai berpiano. Oleh sebab itu, sejak kecil saya belajar segala macam instrumen mulai dari piano, biola, cello, sampai akordeon,” kenang Palmer. “Awalnya saya memilih biola sebagai instrumen kesayangan. Namun, setelah mengunjungi toko alat musik dan mendengarkan beberapa piringan hitam, saya pindah ke drum,” kata Palmer, yang belajar drum sejak usia 11 tahun di kota kelahirannya, Birmingham.
Palmer bergabung dengan sebuah orkestra sejak berusia 13 tahun. Ia juga belajar musik klasik secara khusus, tetapi di tahun terakhir sekolah musik akhirnya memutuskan keluar karena bosan. “Saya memutuskan memilih musik kontemporer saja, bosan dengan yang klasik,” kata Palmer. Setelah membaca iklan di koran, Palmer yang baru berumur 16 tahun diterima masuk ke sebuah band bernama The King Bees yang membawakan musik R&B. Hanya satu hari ia bersama The King Bees dan setelah itu bergabung dengan Thunderbirds, yang membawa dia mengenal kehidupan musisi di London.

Selama delapan bulan ia hampir setiap malam manggung bersama Thunderbirds. Permainan drum Palmer menarik perhatian promotor bernama Kit Lambert dan Chris Stamp yang mengajak Palmer ikut rekaman bersama The Crazy World Of Arthur Brown.
Kelompok yang diotaki oleh Arthur Brown ini sudah terkenal berkat hit Fire. Palmer tidak betah berlama-lama dengan Brown yang makin hari makin eksentrik. Maka, Palmer pun membentuk band sendiri bernama Atomic Rooster.

MESKIPUN cukup berhasil, namun The Nice, King Crimson, dan Atomic Rooster tidak pernah membuat puas Emerson, Lake, dan Palmer. Pada awal 1970, mereka mulai kecewa dengan band masing-masing. Emerson merasa The Nice terlalu menyesuaikan diri dengan selera pasar. “Kecenderungan musik waktu itu mengarah kepada pop melodi. Vokalis kami sebenarnya cukup bisa diandalkan, namun saya tiba-tiba senang sekali mendengarkan musik King Crimson,” kata Emerson. Kebetulan King Crimson menjadi band pembuka pada tur The Nice di Eropa dan Amerika Serikat (AS). Kesempatan ini membuat Emerson dan Lake menjadi teman dekat. Mereka berdua di panggung bahkan sempat tampil bersama, Emerson dengan kibor dan Lake dengan gitar, dalam sebuah konser di Fillmore West, AS.

Emerson mengenang saat-saat yang menyenangkan itu sebagai pemicu keluarnya Lake dari King Crimson. Apalagi, dua personel King Crimson, Ian McDonald (saksofone) dan Michael Giles (drum) keluar. Ketika tawaran membuat band baru datang dari Emerson, Lake tidak menampik.
Sesungguhnya, Lake bukanlah pilihan pertama Emerson. “Saya mempunyai beberapa pilihan sebelum Greg. Pilihan pertama saya adalah Chris Squire yang waktu itu menjadi pemetik bas Yes. Ia menolak dengan menjawab, ’Saya sebenarnya bukanlah vokalis utama’,” tutur Emerson.
“Saya kemudian membujuk Jack Bruce, vokalis dan pemetik bas yang pernah memperkuat Cream. Namun, dia bersedia kalau dinobatkan sebagai pemimpin. Ia bilang ’saya yang berkuasa, kamu hanya memainkan musik saya’. Saya jawab tidak dan terima kasih,” lanjut Emerson.
Sementara itu, Lake mencoba mendekati gitaris ulung asal AS, Jimi Hendrix. “Saya sempat berbicara lama dengan penggebuk drum Hendrix, Mitch Mitchell, sepekan sebelum Hendrix meninggal dunia,” kata Lake. Ketika itu Hendrix merasa tidak puas dengan band yang baru saja dia bentuk, Band Of Gypsies. “Mitch sempat mengatakan kepada saya bahwa Jimi tertarik untuk berlatih dengan Keith dan saya,” lanjut Lake. Mereka sempat berlatih untuk membuka kemungkinan membentuk band bernama HELM dengan formasi Hendrix (gitar), Emerson (kibor), Lake (vokal/bas), dan Mitchell (drum). Namun, latihan itu tidak menghasilkan kesepakatan apa pun.
“Jimi merupakan musisi yang hebat. Namun, dia memiliki gagasan sendiri dan sudah menetapkan sebuah arah yang tak bisa diganggu gugat. Saya menilai kami tidak saling melengkapi. Kalau saya boleh memilih, saya akan mengajak Steve Howe. Sayangnya, Howe sudah bersama Tomorrow dan sedang berencana pindah ke Yes,” kata Emerson.
Setelah Hendrix tutup usia, Emerson dan Lake tampaknya sudah mantap dengan Mitchell sebagai pemain drum. Tetapi, lama-kelamaan Lake mulai tidak suka dengan Mitchell yang dia anggap cuma bisa bermain musik jazz. “Adalah Greg yang akhirnya memutuskan tidak akan mengajak Mitch. Greg memang tidak suka jazz,” kata Emerson. “Semua musisi jazz sama saja. Mereka bermain tanpa emosi dan tidak bergairah,” ujar Lake. Setelah mendepak Mitchell, Emerson memutuskan untuk mencari pemain drum asal AS. Di Inggris, ia bersama Lake hanya mempunyai satu pilihan saja, yakni Palmer yang memang mereka sudah kenal sejak lama.
Emerson kemudian menghubungi Palmer yang dianggapnya sebagai penabuh drum yang energik dan antusias. “Sejak dulu saya memang hanya tertarik bermain dalam band yang personelnya cuma tiga seperti Atomic Rooster. Ketika Keith menghubungi, saya menjawab siap berlatih tanpa ada kewajiban apa pun,” kenang Palmer.

Atomic Rooster ketika itu termasuk sukses, Palmer secara ekonomis juga sudah mulai merasa mapan. “Saya baru saja membeli sebuah sedan Mercedes. Saya memang mengenal Keith, namun sama sekali tidak kenal siapa gerangan Greg Lake. Saya hanya tahu dia vokalis King Crimson,” lanjut Palmer. Untungnya, Emerson menerapkan sistem yang demokratis sehingga Palmer maupun Lake didorong untuk terlibat aktif dalam penulisan lagu. Selain itu, Emerson telah berhasil menegosiasikan kontrak dengan perusahaan rekaman Atlantic Records.
“Setelah berlatih beberapa kali, saya sadar bahwa tawaran dari Emerson jangan sampai ditolak. Kualitas musisi Keith dan Greg lebih bagus dibandingkan rekan-rekan saya di Atomic Rooster. Keith dan Greg menjanjikan sukses global, jadi tawaran mereka saya terima,” lanjut Palmer.
DALAM tiga tahun awal berdirinya, Emerson, Lake & Palmer (ELP) menjual piringan hitam yang jumlahnya mencengangkan. Resep sukses ELP adalah mendorong persaingan antara ketiga personel itu untuk ikut menulis musik dan lirik.

“Kami bertiga merupakan jenis orang-orang yang kompetitif, namun tidak berprinsip saling menjatuhkan satu sama lain. Saya ingat sebuah konser tahun 1971, tiba-tiba listrik padam. Saya mengusulkan kepada Greg untuk bermain piano saja selama sepuluh menitan supaya para penonton tidak bosan menunggu listrik hidup kembali. Greg menjawab, ’Jangan, tak ada yang perlu naik ke panggung. Kita mesti selalu bersama-sama’. Memang aneh, namun begitulah kira-kira kami selalu tampil bertiga dalam keadaan senang maupun susah bersama-sama,” tutur Emerson.

Lake berpendapat, setiap band tidak mungkin menahan-nahan rasa ego personelnya masing-masing. Ia merasa, pertarungan antara egoisme dia dengan Emerson maupun Palmer ketika itu berlangsung seimbang tanpa mesti menyinggung perasaan dan profesionalisme masing-masing.
“Kami terus bersaing sampai pada tingkat pasti akan mengetahui apa yang akan dipikirkan oleh yang lain. Kami sampai kepada sebuah tahap di mana kami begitu mudahnya tampil di panggung untuk menyajikan musik, cuma dengan saling menatap saja,” ujar Emerson. Begitu sengitnya perimbangan kekuatan di kubu ELP, maka sampailah mereka ke titik jenuh yang normal dialami oleh setiap band.

Emerson mengungkapkan, sampai bosannya mereka akhirnya memutuskan untuk tidak bergaul lagi. “Secara musikal, kami berkomunikasi sudah sangat lelah. Kami sudah berkomunikasi di atas panggung, makanya tak perlu lagi pergi makan bersama-sama, misalnya,” kata Emerson.
Dalam persaingan yang berimbang ini, adalah Emerson dan Palmer yang terus terlibat konflik dan konsensus mengenai karya musik apa yang terbaik bagi ELP. Sedangkan Lake lebih banyak diberikan kewenangan untuk menulis nomor-nomor balada khas ELP seperti Lucky Man, Take A Pebble, atau Still… You Turn Me On. Bahkan, menurut para kritikus, Lake akan menjadi bintang besar andaikan saja dia bersolo karier dengan nomor-nomor balada yang selalu mendapat tempat teratas di tangga lagu tersebut. Kelak terbukti, Lake mencetak sukses luar biasa lewat nomor solo karier dia yang dirilis tahun 1975, I Believe In Father Christmas.
“Jelas saya berperanan sangat aktif di ELP. Saya selalu menjadi produser, jadi tidak ada alasan untuk merasa dibatasi oleh Keith atau Carl. Saya mungkin akan sukses jika bersolo karier seperti James Taylor, tetapi saya tidak akan menikmati sukses seperti itu. Di ELP, saya sangat menyukai musik yang energik yang kami sajikan,” kata Lake. Satu-satunya hal dia sesali adalah kegagalan ELP memasukkan unsur musik hitam lebih banyak lagi.

“Menurut saya, kami akan lebih sukses jika sering mengambil pengaruh musik blues atau soul. Musik ELP terlalu Inggris, terlalu klinis, dan sangat Eropa,” ujar Lake. Pengakuan terbesar yang diperoleh ELP adalah ketika mereka merilis album Brain Salad Surgery, yang membuat Emerson, Lake, dan Palmer menjadi musisi favorit-secara individual atau kolektif-para pembaca majalah-majalah musik. Sebelum Brain Salad Surgery, ELP sempat kurang aktif dalam waktu yang cukup lama. Emerson kala itu banyak sekali bergaul dengan kalangan pemusik lain untuk membantu produksi album-album artis lain, sementara Lake mengerjakan konsep penyajian musik yang kelak menjadi album Brain Salad Surgery itu. “Ketika bersua di studio, kami saling terinspirasi. Kami berlatih dengan membeli sebuah bioskop dan tidak pernah berhenti berlatih,” ungkap Lake. “Album Brain Salad Surgery direkam pada saat kami bertiga merasa sangat dekat lagi. Selain menjadi album terbaik, Brain Salad Surgery juga dikerjakan dalam waktu yang cukup singkat. Saya ingat tidak terlalu bertele-tele waktu mengisi suara perkusi, begitu juga yang lain. Saya sering sekali melakukan eksperimen, antara lain dengan merekam bunyi simbal-simbal yang saya taruh di lantai untuk mendapatkan suara yang lebih unik dan sempurna,” kata Palmer.

SEBAGIAN lirik album Brain Salad Surgery ditulis oleh Pete Sinfield, teman dekat Lake di King Crimson. Sementara sampul depan album itu dikerjakan oleh artis Swiss, HR Giger, yang kelak menjadi tenar berkat monster yang dia rancang untuk film-film Alien.
“Tadinya judul sementara album itu Whip Some Skull On Ya. Lalu manajer tur kami mengusulkan potongan lirik lagu karya Dr John, ’give some Brain Salad Surgery’. Itu yang kami pakai,” kata Emerson. Tur dalam rangka promosi album inilah yang menurut media massa Inggris, merupakan penghamburan uang dalam jumlah besar-besaran lewat konser megah yang dilakukan ELP di seluruh dunia.
Palmer memajang simbal atau gong, mulai dari yang berukuran mini sampai raksasa. Emerson secara khusus membangun alat yang mampu membuat dia bersama pianonya terbang berputar-putar. “Ah, yang kami lakukan hanya demi memuaskan penonton. Sama sekali tidak ada hubungannya dengan pemborosan atau semacamnya. Kami bukan musisi-musisi gila yang mau habis-habisan,” kilah Lake.
Berbeda dengan pandangan para penggemar dan pers ketika itu, ELP bukanlah band yang rajin mengumpulkan sederet perempuan untuk pesta pora. Mereka juga jauh dari narkoba, walaupun Palmer dikenal juga sebagai seorang peminum alkohol kelas wahid.

ELP membubarkan diri tahun 1979 dan mereka bertiga pindah ke AS untuk memulai karier musik lain. “Kami sudah tahu pasti akan bubar setelah bosan memproduksi begitu banyak album dalam rentang waktu yang termasuk singkat. Album Love Beach menurut saya merupakan simbol kebosanan itu,” kata Lake.

Walaupun bubar, kisah ELP tidak pernah ada akhirnya. Setelah tahun 1979 mereka membuat album-album baru dan mengadakan konser-konser kenangan. Dan, tahun ini mereka sudah mempunyai rencana baru, entah apa lagi.

oleh. zuryawan

Comments